January 15, 2025

Centralnesia

Pusat Berita, Pusat Informasi

Mengapa Turki Mendukung Pasukan Pemberontak di Suriah?

CENTRALNESIA – Konflik Suriah yang kembali memanas bukanlah hal baru bagi masyarakat Turki. Selama lebih dari dua bulan terakhir, Presiden Recep Tayyip Erdogan dan sekutu politiknya, Devlet Bahceli, hampir secara eksklusif membicarakan dampak perubahan kekuasaan di Timur Tengah dan potensi konsekuensinya bagi Turki. Salah satu kekhawatiran utama adalah kebangkitan kelompok Kurdi di Suriah, yang sejak perang saudara memerintah wilayah timur laut Rojava dengan sistem pemerintahan sendiri. Keberadaan pemerintahan otonom Kurdi ini menjadi tantangan besar bagi Turki, yang menganggap kelompok-kelompok Kurdi sebagai ancaman besar.

Secara geopolitik, Turki mengamati kondisi Suriah yang berada dalam kekacauan, dengan penguasa Bashar al-Assad yang kini dipertahankan oleh sekutunya, Rusia, Iran, dan Hizbullah. Namun, Rusia tengah sibuk dengan krisis Ukraina, sementara Hizbullah dan Iran sedang tertekan akibat serangan-serangan Israel. Dalam konteks ini, para pemberontak Suriah melihat peluang untuk mengubah peta politik dengan melancarkan serangan besar-besaran pada 27 November, merebut kota Aleppo dalam waktu singkat dan memaksa pasukan Assad mundur.

Pakar Timur Tengah Michael Lders menyatakan bahwa Turki mengetahui rencana serangan ini dan bahkan memberikan dukungan militer. “Para pemberontak jelas membutuhkan senjata yang sesuai, dan hanya Turki yang bisa memberikannya,” ujarnya. Ini menunjukkan bahwa Turki terlibat secara aktif dalam memberikan dukungan kepada pasukan pemberontak di Suriah.

Tujuan Utama Turki di Suriah

Setelah pecahnya perang saudara Suriah, Turki segera memihak pemberontak dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Damaskus. Meskipun kemudian Erdogan mencoba membuka saluran komunikasi dengan Assad, upaya tersebut ditolak oleh pemerintah Suriah yang menginginkan penarikan pasukan Turki dari wilayah utara Suriah sebagai syarat normalisasi hubungan. Namun, Turki menolak tuntutan tersebut, karena wilayah yang dikuasai militer Turki dan milisi Tentara Nasional Suriah (SNA) di perbatasan dianggap sebagai “zona keamanan.”

Secara lebih luas, tujuan utama Turki adalah menggulingkan pemerintahan otonomi Kurdi di timur laut Rojava. Wilayah ini dikuasai oleh Partai Persatuan Demokratik (PYD), yang oleh Turki dianggap sebagai cabang dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh Turki. Selain mendukung SNA, Turki juga mendukung milisi jihadis seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok yang kini menguasai Aleppo dan wilayah sekitarnya. Turki bahkan terlibat dalam beberapa operasi militer di wilayah yang dikuasai Kurdi sejak 2016, meskipun pihak Turki membantah terlibat dalam perkembangan terkini di Suriah, dengan mengatakan bahwa mereka tidak ingin menciptakan gelombang pengungsi baru.

Strategi dan Pengaruh Turki terhadap SNA

Kelompok SNA yang didukung oleh Turki terdiri dari berbagai kelompok jihadis. Meskipun Turki mengendalikan sebagian besar tindakan SNA, tantangan besar tetap ada, terutama dengan adanya perbedaan tujuan antara Turki dan kelompok-kelompok jihadis yang menginginkan penggulingan pemerintahan Assad. SNA dan HTS, meskipun sering bekerja sama dalam serangan, memiliki tujuan berbeda dalam hal pembagian wilayah yang mereka taklukkan. SNA sendiri kini menguasai wilayah Tal Rifat dan berencana untuk melanjutkan serangan ke kota-kota yang dikuasai Kurdi.

Ankara berusaha menghindari konfrontasi langsung dengan Rusia, Iran, dan rezim Assad. Erdogan berharap untuk mengamati sejauh mana pasukan yang didukung Turki dapat mengalahkan milisi Kurdi tanpa memicu eskalasi lebih lanjut dengan kekuatan besar tersebut.

Dampak Kemanusiaan dan Kritik Internasional

Meskipun Turki menyatakan tidak ingin menciptakan gelombang pengungsi baru, kenyataannya Turki telah menampung lebih dari 3,5 juta pengungsi Suriah sejak perang saudara dimulai. Erdogan berharap dapat mengirim sebanyak mungkin pengungsi kembali ke Suriah, dan untuk itu Turki membutuhkan zona penyangga yang aman di utara Suriah. Erdogan bahkan kembali menegaskan rencananya untuk menguasai wilayah selebar 30 hingga 40 kilometer di utara Suriah untuk mengurangi ancaman dari kelompok Kurdi dan mencegah pengungsi baru.

Namun, kebijakan ini mendapat kritik dari organisasi hak asasi manusia. Human Rights Watch (HRW) menuduh Turki melakukan kejahatan perang dalam beberapa operasi militer yang melibatkan pasukan Turki dan kelompok bersenjata lokal yang didukungnya di wilayah yang dikuasai Turki di Suriah utara. Tuduhan ini mencakup penculikan, penyiksaan, dan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap warga sipil di wilayah tersebut.