CENTRALNESIA – Setelah Donald Trump pertama kali menjabat sebagai Presiden AS, kebijakan tarif tinggi dan retorikanya yang agresif memicu perang dagang dengan Tiongkok, menyebabkan hubungan antara dua ekonomi terbesar dunia menurun drastis. Dalam menghadapi kebijakan tersebut, Tiongkok kini cenderung menghindari strategi balas dendam yang serupa dengan yang dilakukan sebelumnya. Menurut Zhao Minghao, seorang ahli hubungan internasional dari Universitas Fudan, Tiongkok lebih memilih untuk meredakan ketegangan dengan fokus pada “kerjasama” dan “hubungan yang stabil serta berkelanjutan.”
Dalam pidatonya kepada Trump, Presiden Tiongkok, Xi Jinping, menekankan pentingnya stabilitas hubungan antara kedua negara, meskipun ancaman tarif yang lebih tinggi tetap mengintai. Meskipun perusahaan teknologi Tiongkok kini lebih mandiri dan tidak terlalu bergantung pada impor dari AS, kebijakan tarif yang lebih tinggi tetap menjadi ancaman yang signifikan.
Selain itu, Tiongkok terus memperluas jaringan hubungan internasionalnya, memperkuat aliansi global, serta menyelesaikan sengketa internasional, termasuk dengan negara-negara seperti India dan Jepang. Beijing juga berusaha lebih dekat dengan negara-negara Global South, untuk menyeimbangkan perdagangan luar negeri dan mengurangi ketergantungan pada AS.
Meski lebih siap menghadapi kebijakan Trump yang lebih agresif, Tiongkok masih dihadapkan pada berbagai tantangan ekonomi besar. Ketegangan yang berkelanjutan antara kedua negara akan terus mempengaruhi ekonomi global dalam beberapa tahun ke depan, dengan persaingan di bidang teknologi sebagai salah satu arena persaingan utama yang harus dihadapi Tiongkok.
More Stories
Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese Desak Polandia Tangkap Benjamin Netanyahu jika Berkunjung
Kotak Hitam Pesawat Jeju Air Tidak Memiliki Data Empat Menit Terakhir Sebelum Ledakan
Slovakia Pertimbangkan Penghentian Bantuan ke Ukraina di Tengah Sengketa Transit Gas Rusia