CENTRALNESIA – Dosen Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), Rosramadhana, menyoroti minimnya dokumentasi sejarah tentang pahlawan perempuan di Indonesia, yang menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat akan peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Menurutnya, tantangan ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya dokumentasi dan publikasi yang memadai terkait kontribusi pahlawan perempuan.
Selain itu, buku-buku sejarah dan antropologi yang ada cenderung menggunakan bahasa Belanda, sementara Indonesia kekurangan sumber daya manusia yang mampu menerjemahkan arsip-arsip Belanda yang berkaitan dengan pergerakan perempuan. Sebagian besar pahlawan perempuan yang dikenal masyarakat—seperti R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Cut Nyak Dhien—telah banyak dibahas dalam buku-buku sejarah, tetapi seringkali narasinya tidak lengkap dan memiliki bias gender yang lebih menonjolkan peran laki-laki.
Rosramadhana menekankan pentingnya historiografi yang holistik, yang menggali cerita dari aspek kehidupan publik dan pribadi para tokoh perempuan. Menurutnya, bias gender dalam historiografi masih menjadi masalah, karena sejarawan lebih sering mencatat peran laki-laki dibandingkan peran perempuan. Sebagai solusi, Rosramadhana mengusulkan peningkatan literasi terhadap arsip-arsip sejarah serta mengajak pemerintah untuk mendirikan museum yang khusus mengedepankan pergerakan perempuan.
Ia juga mendorong generasi muda untuk memanfaatkan media sosial guna memopulerkan kisah-kisah pahlawan perempuan secara rutin, tidak hanya pada hari peringatan tertentu. Misalnya, melalui podcast, flyer, atau film dokumenter singkat yang dapat menarik perhatian publik dan pemerintah.
Senada dengan Rosramadhana, Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang mendukung keterlibatan generasi muda dalam mengangkat cerita pahlawan perempuan melalui media sosial. Very mengingatkan bahwa tanpa usaha ini, kisah-kisah berharga tersebut bisa semakin banyak hilang, terutama mengingat sejarah Indonesia sebagian besar terdokumentasi di luar negeri. Menurut data Kementerian Sosial, dari 206 pahlawan nasional yang diakui hingga tahun 2023, hanya 16 yang merupakan perempuan.
Komnas Perempuan, lanjut Very, telah mulai mengenalkan tokoh-tokoh perempuan yang jarang dikenal masyarakat, seperti Ratu Ageng Tegalrejo, S.K. Trimurti, dan R.A. Soetartinah. Ia berharap pengakuan pahlawan perempuan ini akan semakin bertambah pada tahun-tahun mendatang.
More Stories
Kepolisian Usut Kasus Pemerasan oleh Waria di Bekasi Selatan
Laura Meizani (Lolly) Meninggalkan Rumah Aman dan Mendatangi Mapolres Metro Jakarta Selatan
Kepolisian Buru Guru Mengaji Pelaku Pencabulan di Tangerang