January 22, 2025

Centralnesia

Pusat Berita, Pusat Informasi

Titi mengusulkan penggabungan UU Pemilu dan UU Pilkada ke dalam satu regulasi terpadu.

Titi mengusulkan penggabungan UU Pemilu dan UU Pilkada ke dalam satu regulasi terpadu.

CENTRALNESIA – Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mendorong penggabungan Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada menjadi satu undang-undang meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) tidak secara eksplisit mengarahkan hal tersebut.

“Namun, dalam berbagai putusan MK, Mahkamah tidak lagi membuat pembedaan antara norma pemilu dan norma pilkada,” ujar Titi Anggraini, dosen Fakultas Hukum UI, menjawab pertanyaan ANTARA dari Semarang, Jumat.

Saat ditanya apakah Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang membahas keserentakan pemilu dan pilkada dapat menjadi dasar penyatuan kedua undang-undang, Titi menyatakan bahwa landasan utama untuk penyatuan lebih relevan mengacu pada Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022, meskipun keduanya tidak menyebutkannya secara eksplisit.

Menurut Titi, penyatuan ini penting untuk menjaga koherensi, harmonisasi, dan sinkronisasi pengaturan pemilu dan pilkada. Oleh karena itu, keduanya sudah seharusnya diatur dalam satu naskah undang-undang yang sama, yakni UU Pemilu.

“Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022 menegaskan bahwa tidak ada lagi perbedaan rezim antara pemilu dan pilkada. Mahkamah menyatakan bahwa pilkada merupakan bagian dari pemilu,” tambah pegiat kepemiluan tersebut.

Titi juga menyebutkan bahwa urgensi penggabungan ini telah ditegaskan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang Perkara No. 101/PUU-XXII/2024 pada 30 Oktober 2024. Saldi menyampaikan bahwa MK telah secara eksplisit menyatakan tidak ada perbedaan rezim antara pemilu dan pilkada, sehingga DPR ke depan perlu menyatukan keduanya dalam satu undang-undang.

Selain itu, perbaikan aturan dianggap penting karena sejumlah putusan MK telah memberikan arahan untuk melakukan revisi atau perubahan terhadap undang-undang yang berlaku, yang sering disebut sebagai perintah pengadilan (judicial order).

Saldi Isra juga mengingatkan agar pembahasan terkait aturan pemilu selesai sebelum tahapan pemilu dimulai. “Setelah tahapan dimulai, hal-hal prinsipil sebaiknya tidak lagi diubah, baik oleh DPR maupun MK, seperti persyaratan dan sebagainya,” kata dia.

Sebelumnya, DPR RI dan pemerintah telah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) yang menggabungkan UU Pemilu dan UU Pilkada.

Dalam draf RUU Pemilu yang diperbarui pada 26 November 2020, salah satu pertimbangan penggabungan adalah kebutuhan untuk menyederhanakan, menyatukan, dan menyesuaikan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan perkembangan demokrasi serta dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 juga menjadi rujukan, khususnya pada alternatif ke-4 yang menyarankan pelaksanaan pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan diikuti pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, serta bupati/wali kota.