CENRTALNESIA – Prof. Romli Atmasasmita, ahli yang meringankan (a de charge) dalam kasus dugaan korupsi timah, menegaskan bahwa perhitungan kerugian negara dalam perkara tersebut seharusnya hanya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan undang-undang terkait.
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin (24/11/2024), Romli yang juga merupakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) menjelaskan bahwa sesuai dengan Undang-Undang (UU) Pemeriksaan Keuangan Negara, hanya BPK yang memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Romli menekankan bahwa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hanya memiliki peran sebagai pengawas dan auditor internal kementerian/lembaga pemerintah, bukan sebagai pihak yang berwenang menghitung kerugian negara.
“BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal untuk kementerian/lembaga pemerintah,” ujar Romli. Ia juga menjelaskan bahwa perhitungan kerugian negara yang resmi adalah tugas BPK, mengingat peran BPKP yang hanya berdasarkan Peraturan Presiden.
Romli memaparkan perbedaan antara kerugian keuangan negara dan kerugian negara itu sendiri. Kerugian keuangan negara sering kali berhubungan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara itu, kerugian negara bisa juga disebabkan oleh hal-hal lain, seperti kerusakan lingkungan. Namun, ia menegaskan bahwa untuk mengukur kerugian lingkungan, diperlukan keahlian khusus dari ahli lingkungan, bukan BPK atau BPKP.
Selain itu, Romli juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang menghapus kata “dapat” dalam frasa yang menyebutkan “dapat menimbulkan kerugian negara”. Menurut MK, kerugian negara harus bersifat nyata dan pasti (actual loss), serta harus dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
“Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara tipikor,” jelas Romli, yang menambahkan bahwa hakim memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan hal tersebut dalam putusan, tetapi MK telah menegaskan bahwa kerugian yang dimaksud harus konkret.
Romli pun berpendapat bahwa laporan yang digunakan dalam kasus PT Timah Tbk. terkesan dipaksakan, terutama karena kasus ini melibatkan pihak swasta yang hanya berperan sebagai mitra kerja dari anak perusahaan BUMN tersebut.
Kasus dugaan korupsi timah ini menyeret sejumlah petinggi smelter swasta, yaitu Tamron (Pemilik CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia), Achmad Albani (General Manager Operational CV VIP dan PT MCM), serta Hasan Tjhie (Direktur Utama CV VIP). Selain itu, terdapat juga seorang pengepul bijih timah, Kwan Yung alias Buyung, yang didakwa dengan perbuatan serupa.
Keempat terdakwa diancam pidana berdasarkan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Khusus untuk Tamron, dia juga terancam pidana berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
More Stories
Pemerintah Indonesia Pulangkan Terpidana Mati Serge Atlaoui ke Prancis karena Alasan Kesehatan
Ketua DPRD Kepri Minta Aktivitas di Hutan Mangrove Pulau Sugi Dihentikan Sementara
Megawati Soekarnoputri Hadiri World Leaders Summit on Children’s Rights di Vatikan