CENTRALNESIA – Sejak awal keterlibatannya dalam konflik Suriah, Rusia selalu menegaskan bahwa operasi militer untuk merebut kembali Aleppo adalah bukti kuat kekuatan militernya. Pada akhir 2016, Kremlin mengirimkan armada jet tempur, peluru kendali, serta persenjataan canggih untuk mendukung pasukan pemerintah Bashar al-Assad. Namun, setelah delapan tahun, situasi berbeda: Aleppo jatuh kembali ke tangan pemberontak Suriah hanya dalam waktu kurang dari empat hari.
Menurut Ruslan Suleimanov, seorang peneliti orientalis Rusia di Universitas ADA di Baku, Azerbaijan, situasi ini mencerminkan keterbatasan Rusia dalam mendukung rezim Assad saat ini. “Rusia tidak lagi mampu memberikan dukungan besar seperti yang terjadi sepuluh tahun lalu,” ujarnya. Meskipun serangan udara terhadap pemberontak masih dilakukan, kapasitas yang ada kini dinilai tidak cukup untuk menghentikan pergerakan musuh. Lebih jauh, sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, keterlibatannya di Suriah semakin tergerus.
Penguasa Langit di Suriah
Meski tidak pernah memiliki jumlah pasukan besar di Suriah, Rusia terutama mengandalkan angkatan udaranya untuk memberikan dukungan militer kepada Bashar al-Assad. Pada 2015, ketika Presiden Vladimir Putin berkomitmen untuk melindungi Assad, Rusia mengerahkan antara 2.000 hingga 4.000 personel militer di Suriah, meskipun angka ini tidak pernah dikonfirmasi secara resmi. Selain itu, Rusia juga mengirimkan tentara bayaran dari Grup Wagner untuk terlibat dalam pertempuran darat.
Namun, sejak invasi Ukraina, banyak dari pasukan ini dipindahkan untuk memperkuat front di Ukraina, yang semakin membebani kapasitas militer Rusia. Pada saat yang sama, pasukan sekutu seperti Iran dan milisi Hizbullah juga semakin melemah akibat konflik dengan Israel. Pemberontak Islam dari kelompok Haiat Tahrir al-Sham (HTS) pun memanfaatkan celah ini untuk meningkatkan serangan.
Menghadapi Dua Front: Suriah dan Ukraina
Keterlibatan Rusia di Suriah kini menghadapi tantangan besar. Keputusan untuk mengirimkan pasukan tambahan ke Suriah sangat sulit mengingat komitmen Rusia yang sudah besar di Ukraina. Pavel Luzin, seorang pakar angkatan bersenjata Rusia, berpendapat bahwa Rusia akan kesulitan untuk meningkatkan pasokan pasukan ke Suriah tanpa melemahkan posisinya di Ukraina. Setelah serangan terhadap Ukraina, Rusia dilaporkan menarik sebagian besar pasukan dan peralatan militer dari Suriah, termasuk jet tempur dan sistem rudal S-300, dan memusatkan kekuatannya di pangkalan besar.
Meski demikian, Moskow tidak akan dengan mudah menyerahkan Suriah. Bagi Rusia, Suriah merupakan kawasan strategis dengan dua lokasi penting: pangkalan angkatan laut di Tartus yang memastikan akses Rusia ke wilayah Mediterania dan pangkalan udara Hmeimim yang mendukung operasi di seluruh Timur Tengah. Suriah juga penting bagi citra Rusia sebagai negara adidaya yang dapat memberikan stabilitas di kawasan yang dilanda konflik.
Diplomasi dan Strategi Lain
Rusia juga tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga diplomasi untuk menghadapi konflik yang terus berlangsung. Setelah serangan besar pemberontak di Aleppo, Rusia menunjukkan kecenderungan untuk menghindari penambahan sumber daya militer, memilih fokus pada serangan udara yang lebih terbatas. Sumber-sumber dari saluran Telegram “Rybar” melaporkan kedatangan Jenderal Alexander Chaiko, yang sebelumnya memimpin pasukan Rusia di Suriah, untuk mengkoordinasikan respons terhadap serangan pemberontak.
Dalam hal ini, Rusia berusaha mencari solusi melalui perundingan, terutama dengan negara-negara yang terlibat dalam konflik, seperti Turki. Presiden Vladimir Putin telah berbicara dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan rencana pertemuan antara perwakilan Rusia, Iran, dan Turki sudah dijadwalkan. Bagi Rusia, ini adalah upaya untuk mencapai kesepakatan yang dapat mengurangi beban militernya di Suriah sembari tetap mempertahankan pengaruh di kawasan tersebut.
Dengan dua medan perang yang semakin membebani, Rusia harus bijak dalam menyeimbangkan komitmennya di Ukraina dan Suriah. Keputusan-keputusan strategis yang diambil Moskow akan sangat mempengaruhi tidak hanya hasil di kedua medan tersebut, tetapi juga posisi Rusia sebagai kekuatan global.
More Stories
Pertemuan Pertahanan Uni Eropa Bahas Peningkatan Kemampuan Militer dan Dukungan untuk Ukraina
PM Israel Benjamin Netanyahu akan Kunjungi AS untuk Bertemu Presiden Trump
Kecelakaan Pesawat Learjet 55 di Philadelphia: FAA Konfirmasi Enam Penumpang